Institut Teknologi Keling Kumang Menjawab Masalah Pendidikan Tinggi di Perbatasan
SEKADAU NEWs : Musa Narang menghela napas. Panjang sekali. Sulung dari 4-M, enghiong dari Tapang Sambas yang pada 1992 menggulirkan gagasan "sekolah pulang" kembali ke kampung setelah berhasil meraih pendidikan tinggi di kota, mendirikan Credit Union. Sebuah lembaga keuangan non-bank, enggau diberi nama Credit Union Keling Kumang (CUKK). Yang hari lahirnya bersamaan dengan Hari Raya Kabar Sukacita, 25 Maret 1993.
Kini Yayasan Pendidikan Keling Kumang (YPKK) yang menangani 2 lembaga pendidikan yaitu SMK Keling Kumang dan Institut Teknologi Keling Kumang adalah entitas dari Gerakan CU Keling Kumang. Anggotanya 210.503. Dengan aset (2022) sebesar Rp1, 9 Triliun.
Ketua Yayasan Pendidikan Keling Kumang yang smart itu, sejenak meraih dagu. Seperti berpikir keras. Sebagai badan penyelenggara pendidikan, yang bertanggung jawab memenuhi janji CU Keling Kumang kepada anggota. Yakni "Satu keluarga satu sarjana."
Apa akal?
Musa bersaudara pun (Munaldus, Mikael, dan Masiun) lantas menggelar seminar pendidikan. Itu terjadi pada 29 Juni 2016. Tempatnya persis di aula ITKK saat ini. Adilbertus Aco sebagai Direktur Yayasan, pelaksananya. Maka putuslah sudah. CU Keling Kumang harus mendirikan perguruan tinggi.
Rencananya universitas. Namun kemudian berbagai aral melintang jalan jika tancap gas langsung universitas. Selain program studi harus 7 berbasis sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM). Memburu dosen yang linear sesuai program studi yang didirikan, tidak bisa lekas. Maka tidak ingin turun derajad, institut pun cukuplah dulu.
Maka persiapan pendirian segera dilakukan. Rapat-rapat kilat serba-cepat dilaksanakan. Dibentuk Tim yang membidangi tugas tertentu. Ada yang khusus menyiapkan dokumen. Yang paling "berat" adalah Studi Kelayakan.
"Lokusnya di perbatasan. Tulis itu! Masukkan dalam dokumen Studi Kelayakan, yang disampaikan ke Kopertis," demikian salah seorang pejabat di di Kopertis wilayah kami mengurus izin perguruan tinggi swasta itu memberi masukan.
Oleh kawan-kawan, saya diminta membuat Studi Kelayakan. "Rasa bikin tesis. Metodologi dan analisis datanya sama," kata saya waktu itu.
Tak syak lagi. Meski seperti ditengarai Apai Janggut dalam suatu upacara adat Bedara' bahwa "Tidak mudah, tapi bisa". Maka sejarah telah dicatat. Tinta emas pun tergurat buat selamanya di Bumi Lawang Kuwari.
Tiap keluarga anggota CU Keling Kumang minimal 1 sarjana. Tekad yang telah dibulatkan 4-M bersaudara, dari Tapang Sambas. Anggota CUKK kini berbilang angka 210.503. Mampukah mewujudkan tekad itu? Bagaimana caranya?
Untuk pertama kalinya di negeri Batang Adau (Sungai Sekadau) berdiri sebuah perguruan tinggi setingkat Institut. Yang para pendiri menginginkan pimpinan puncaknya tetap "Rektor", yakni Institut Teknologi Keling Kumang. Kini jabatan Rektornya dipangku Dr. Drs. Stefanus Masiun. Vaknya di bidang Ekonomi Lingkungan. Pas buat "menjaga kemurnian" gerakan. Sekaligus mumpuni mengawal visi dan misi badan penyelenggara pendidikan.
Musa Narang |
Setelah melalui perjuangan yang panjang. Perguruan tinggi idaman masyarakat bumi Lawang Kuwari, itu pun berdirilah.
"Untuk tiga tahun pertama nyewa dulu bangunan milik Misi. Kini kampus milik sendiri sudah berdiri. Lokusnya arah jalan Sintang, tak jauh dari Jembatan Penanjung. Akhir tahun 2023 jadi, dan 2024 kita siap pindah menempati kampus yang baru," terang Musa, dengan roman muka berkaca-kaca.
Salah satu panggilan tugas yang diemban perguruan tinggi itu adalah menjadi bagian dari pemecah-masalah (part of solution) masyarakat setempat. Setelah melalui kajian mendalam, maka masyakat memerlukan pengetahuan dan keterampilan di bidang:
- Agroteknologi
- Entrepreneurship (Kewirausahaan), dan
- Rekayasa Komputer.
"Itu tiga Program Studi yang dibuka untuk sementara. Ke depan akan ditambah dan dikembangkan sesuai kebutuhan dan tuntutan zaman. Bahkan perguruan tinggi akan dinanikkan statusnya menjadi universitas," papar Musa yang berpengalaman di dunia pendidikan. Gelarnya pun di bidang master pendidikan.
Masiun. |
Itu sebabnya, dirumuskan oleh Tim Manajemen bahwa core competence (kompetensi inti) ITKK adalah Hunatech (human, nature and technology). Yakni kemanusiaan, alam, dan teknologi. Hal ini sepadan dengan 3 Program Studi yang dimiliki. Yang nanti jika akan menambah lagi Program studi baru, tetap berkanjang pada bidang sehingga mengerucut ke kompetensi inti itu.
Menjawab Masalah Pendidikan di Perbatasan
Budaya sama sebab manusia wilayah perbatasan Republik Indonesia dengan di Sarawak, Malaysia itu serumpun. Namun brain drain, larinya kaum cerdik cendekia dan manusia terampil, ancaman serius. Hal yang perlu disiasati dan diwaspadai.
Masalah perbatasan Indonesia - Malaysia, bukan hanya soal lintas batas. Penyelundupan, masuk-keluarnya barang terlarang, imigran gelap, dan ketahanan-keamanan. Namun, yang lebih dari itu: brain drain dan nasionalisme kebangsaan.
Itulah masalah perbatasan di Kabupaten Sanggau dan Sekadau, Kalimantan Barat pada waktu saat ini. Perlu ditambahkan pula di sini bahwa Kabupaten Sekadau termasuk wilayah yang berada di jalur perbatasan dengan Sarawak, Malaysia.
Keunggulan kampus-kampus di Kalimantan: menang luas. Puluhan hektar. Inlah hakiki campus pada sense awal mula: sebuah perkampungan mahasiswa. |
Bersama Munaldus, salah seorang penggagas ITKK dan pendiri CU Keling Kumang di area kampus baru. |
Dari jalur perhubungan darat, jarak kota Sekadau dan wilayah perbatasan (Entikong/ Tebedu) sekitar 212 km saja jaraknya. Sangat baik kondisi badan, marka, dan sekitar jalan raya. Lancar pula akses jalannya.
Lebih-lebih dari Simpang Tanjung (wilayah Kab. Sanggau) hingga Entikong/ Tebedu. Jalan raya yang merupakan jalan negara dalam kondisi yang sangat baik. Sedemikian rupa, sehingga jarak tempuh dari Sekadau-Entikong/ Tebedu kurang lebih 4 jam perjalanan menggunakan kendaraan roda empat. Dengan demikian, jarak Sekadau – Sarawak (Malaysia) lebih dekat dibandingkan dengan jarak Sekadau – Pontianak (400 km).
Malaysia sendiri gencar mempromosikan perguruan tingginya di Kalimantan Barat. Dengan tujuan, agar banyak siswa dan orang tua menempuh pendidikan tinggi di negeri jiran. Asal mafhum saja, pendidikan ini memicu industri ikutan lain, seperti: kuliner, penginapan, dan konsumsi. Ini hasil studi yang saya lakukan, di Jakarta.
Mengingat penerapan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sudah berlangsung dan dikhawatirkan terjadi brain drain (fenomena dimana berimigrasinya penduduk dari suatu negara yang memiliki tingkat pendidikan dan skill yang tinggi ke negara lain). Terutama di bidang pendidikan, jasa, teknologi, dan segala bidang profesi ke luar negeri (negara tetangga).
Dalam hal ini, Badan Penyelenggara Pendidikan merasa terpanggil sebagai warga negara untuk berusaha membendung fenomena brain drain tersebut dan agar siswa dari wilayah perbatasan tidak menuntut ilmu atau sekolah ke negeri tetangga, Malaysia.
Harian Republika (13 Oktober 2013) di bawah judul “Warga Perbatasan Kalbar Pilih Sekolahkan Anak di Malaysia” mencatat bahwa “Sebagian warga perbatasan Indonesia-Malaysia di wilayah Kalimantan Barat masih memilih menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Malaysia. Pertimbangan utama adalah biaya pendidikan yang murah dan prospek ke depan.”
Merespons fenomena tersebut, dan terdorong semangat kebangsaan yang tinggi, Badan Penyelenggara Pendidikan merasa terpanggil menjawab masalah yang dipandang sangat penting sekaligus urgen tersebut.
Meski orang tua memilih menyekolahkan anak-anaknya ke Malaysia dengan alasan “biaya pendidikan yang murah dan prospek ke depan”, hal ini dapat dipatahkan dengan dalih bahwa nilai-nilai yang didapat dan pengaruh sosial budaya dari negara lain jauh lebih mendasar dan penting dikedepankan.
Dengan kata lain, semangat dan nilai-nilai kebangsaan di atas segalanya. Oleh karena itu, perlu didirikan sekolah/pendidikan tinggi yang menjawab kebutuhan masyarakat setempat agar tidak mencari sekolah lain apalagi ke luar negeri yang berbeda kultur dan nilai-nilainya.
Isu perbatasan ini menjadi demikian urgen pada saat ini. Dibukanya pos lintas batas Entikong-Tebedu pada pada tahun 1989 semula memang dimaksudkan untuk mempermudah komunikasi dan kerja sama antarsuku bangsa yang masih memiliki hubungan keluarga.
Setiap hari, tidak kurang dari 1.000 hingga 1.500 orang melewati Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong. Ada yang menggunakan bus umum atau kendaraan pribadi. Ada juga yang naik bus turun di terminal Entikong, lalu "menyeberang" ke Tebedu di Sarawak, dan melanjutkan perjalanan menggunakan kendaraan umum setempat.
Sejak dioperasikan tahun 1989, tahun 2017 mulai terlihat adanya perubahan yang cukup mencolok di PPLB Entikong. Terutama sejak Presiden Joko Widodo menegaskan komitmennya dalam membangun perbatasan Negara (http://kalbar.antaranews.com/berita/338457/menelusuri-jalur-pontianak-kuching).
Hubungan kedua negara semestinya saling menguntungkan (win-win), termasuk dalam hal pendidikan. Akan tetapi, dari segi pendidikan, masih perlu kerja keras dan perjuangan sebab banyak siswa Kalimantan Barat memilih kuliah di Malaysia daripada sebaliknya.
Pada saat ini, cukup banyak orang tua di Kalbar menyekolahkan/ menguliahkan anaknya ke Malaysia, antara lain di: University Kebangsaan Malaysia, Swinburne University Sarawak, dan Unimas.Alasannya ialah: belum tersedianya bidang ilmu atau jurusan yang sama di Kalimantan Barat (wawancara dengan Munaldus, orang tua mahasiswa dari Sekadau dan Corry Soesana, agen perguruan tinggi Kalbar untuk perguruan tinggi di Kuching, Sarawak - Malaysia yang berdomisili di Pontianak).
Sementara itu, pihak Malaysia sendiri gencar mempromosikan perguruan tingginya di Kalimantan Barat dengan tujuan agar banyak siswa dan orang tua menempuh pendidikan tinggi di negeri jiran. Kedutaan Besar Malaysia yang diwakili Penasihat Kedutaan Malaysia bidang Pendidikan, Yahurin Mohd. Yassin beserta rombongan mengunjungi beberapa sekolah dan perguruan tinggi di Pontianak.
Satu di antaranya sekolah yang dikunjungi adalah SMKN 3 Pontianak. Dalam kunjungan yang bertema “Siri Jelajah Indonesia Edisi 1” 2012 tersebut Yahurin Mohd Yassin mengatakan tujuan kegiatan ini untuk memberi informasi tentang perguruan tinggi di Malaysia. (http://pontianak.tribunnews.com/2012/02/23/univesitas-malaysia-gait-siswa-kalbar).
Mengingat dan mempertimbangkan aspek wilayah/ isu perbatasan ini maka Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi, dalam hal ini Yayasan Pendidikan Keling Kumang (YPKK), berupaya menjawab kebutuhan masyarakat setempat dengan mendirikan perguruan tinggi berbentuk institut.
Kekhasan perguruan tinggi dapat dilihat dalam rumusan visi dan misi masing-masing Program Studi, termasuk distribusi mata kuliahnya, dan profil lulusan. Kekhususan dan kekhasan ITKK diharapkan menjadi daya tarik masyarakat Kalimantan Barat, sekaligus menjawab dan meminimalisasikan kecenderungan dan arus masyarakat Kalimantan Barat kuliah di Malaysia.
Siasat itu perlu. Agar tidak terjadi brain drain dari perbatasan RI ke negeri tetangga, Sarawak, Malaysia. Sebab kita, bukan kami, sebagai bangsa yang rugi. (Rangkaya Bada)